Langitpun
kembali cerah setelah mendung hitam memuntahkan isinya. Kesedihan ini akan
menguap dan berganti dengan kebahagiaan. Aku pertahankan apa yang harus
dipertahankan. Aku perbaiki apa yang harus ku perbaiki. Dan akan ku jalani hidup
ini dengan keikhlasan hati. Jika cerita ini harus selesai, aku akan coba
ikhlaskan semua.
Aku termenung menatap hiruk pikuk
jalanan kota ini. Ramai. Aku hanya bisa menghela napas panjang berharap rasa
sesak ini sirna. Ku teguk jus alpukat yang masih tersisa setengah gelas sampai
tandas. Ku seka ujung mata yang terasa berembun. Sekali lagi aku menghela napas
panjang, berharap air mata yang ku tahan tak memaksa keluar. Aku menengadah
menatap gelapnya langit malam, bergumam dalam hati bahwa semua akan baik-baik
saja. Lalu beranjak pergi.
Urusan perasaan kali ini sungguh tak
pernah ku duga. Bagaimana mungkin kisah yang selama ini sangat manis bisa
berubah jadi sangat menyakitkan dalam waktu singkat? Bagaimana mungkin rencana
indah yang pernah terpahat indah bisa hancur tanpa sisa seperti ini? Apa
salahku hingga Tuhan membuat aku merasakan sesak yang menyakitkan? Apa aku tak
berhak merasakan kebahagiaan? Air mata yang aku bendung akhirnya mengalir tanpa
bisa ku cegah. Terus mengalir, mengaburkan pandanganku. Aku ingin teriak,
supaya seluruh alam tau betapa menderitanya aku.
Merebahkan tubuh di atas kasur,
berusaha memejamkan mata. Lelah menyergap seluruh jiwa dan ragaku. Mataku
menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang gelap. Biarlah kegelapan ini menyelimuti
diriku yang rapuh. Air mataku mengalir tanpa ku sadari. Pertemuan singkat tadi
seperti sebuah film yang berputar-putar dalam pikiranku.
“
Maaf kita ga bisa melanjutkan hubungan kita” kalimat itu yang menjadi kalimat
pembuka pada pertemuan kali ini. Pertemuan setelah sebulan terpisah jarak. Aku
masih bertanya-tanya apa maksud dari ucapannya. Masih tersenyum menatap
wajahnya, wajah yang ku rindukan.
“Maaf,
De. Hubungan kita sampai di sini aja. Kita ga bisa lanjutin rencana pertunangan
kita.”
Seketika
duniaku terasa melambat. Sesak menyergap diriku. Aku berharap ini hanya
pendengaranku yang salah. Dunia benar-benar terasa berhenti berputar. Mataku
basah, berembun. Aku tertunduk, tak mampu menatap wajah itu. Wajah yang selalu
aku rindukan.
“Kenapa?”
hanya satu kata yang terucap. Lidahku kelu, hatiku sakit. Berusaha menahan
tangis.
“Aa
udah ketemu sama orang tua cewek lain. Udah bilang kalo Aa mau nikahin anaknya.
Orang tuanya udah setuju. Minta Aa secepatnya nikahin anaknya. Ini fotonya”
penjelasan singkat, tapi cukup membuatku menoleh melihat foto yang disodorkan.
“Bukannya
itu Indah yang tinggal di depan rumah Aa? Kok bisa Aa ngelamar cewek lain
padahal urusan kita belum selesai? Apa salah Ade sampe dapet perlakuan gini? Aa
ga mikirin perasaan Ade? Perasaan keluarga Ade? Aa yang janji kan mau datang ke
rumah? Ade tau Indah lebih cantik, lebih tertutup pakaiannya. Ade ga pernah
ngerti keadaan ini.” Tangisku tertahan. Banyak pertanyaan yang ingin aku
ajukan. Tapi cukup, biar dia menjelaskan apa yang ingin dia jelaskan.
“Ade
itu terlalu banyak nuntut, terlalu mudah
bilang putus, terlalu manja, terlalu kanak-kanak. Ga mau ngerti kesibukan Aa.
Ga bisa bikin Aa tenang, cuma bisa bikin Aa stres, pusing, sakit kepala.”
“Cukup.
Jangan dilanjutin. Ade udah paham kearah mana omongan Aa. Semua salah Ade.
Maaf. Bisakah Aa membatalkan pertunangan sama Indah? Kita bisa kan lanjutin
hubungan kita? Keluarga kita udah saling tau rencana kita kan?” aku masih
berusaha mempertahankan hubungan ini.
“Maaf,
De. Aa ga bisa ninggalin Indah. Aa lebih milih dia. Soal keluarga, kita
jelaskan sama keluarga kita masing-masing.”
“Oke.
Stop. Pertemuan kita cukup sampai sini. Ade udah ga mau dengar apapun lagi. Ade
mau pulang.” Aku bersiap meninggalkan dia. Ingin segera menumpahkan seluruh
rasa yang menyesakkan dada.
“Aa
ga bisa biarin Ade pulang sendirian dalam kondisi begini. Tunggu di sini, Aa
izin ga masuk kuliah terus anter Ade.” Genggaman tangan itu tak lagi
menenangkanku. Segera ku tepis.
“Ade
bisa pulang sendiri. Ga butuh Aa lagi. Silakan pergi duluan, atau Ade yang
pergi duluan.” Akhirnya aku memberi pilihan. Dan dia memilih untuk pergi
meninggalkan aku sendiri.
Seperti mawar yang berduri, semakin
erat dalam genggaman,semakin perih terasa. Aku pikir kamu juga begitu. Semakin
kuat aku menahanmu, semakin kuat juga inginmu tuk menjauh. Pergilah.
Aku
tersadar dari lamunan yang tak pasti. Aku menyeka air mata, membersihkan diri.
Mencoba mengistirahatkan tubuh yang sangat lelah. Aku berjanji akan
meninggalkan kota ini setelah semua urusanku selesai. Aku pun terlelap.
Selesai semua urusanku di kota ini,
aku kembali ke rumah orang tuaku. Kampung halamanku. Selama perjalanan pulang,
pikiranku kosong. Hatiku masih sakit. Bukan hanya hatiku, tapi juga fisikku.
Aku bernapas tapi seperti tak bernapas. Oksigen yang ku hirup melalui hidung
terasa tidak sampai ke dalam paru-paru. Dada ku sesak.
"Rasa
sakit hati itu indah. Setidaknya patah hati memberikan sensasi bahw akita
memang masih hidup. Hanya batu atau kerikil yang tidak sakit hati."
*Tere Liye
*Tere Liye
****
Satu minggu setelah pertemuan itu,
duniaku berubah. Keceriaan yang dulu selalu menghiasi, berubah jadi kemurungan
yang tak berujung. Selera makan hilang, senyum di bibirku perlahan pergi. Benar
apa yang pernah aku baca, “kamu tidak
akan merasa lapar karena dua hal, yaitu ketika jatuh cinta dan merasakan
kesedihan yang mendalam.” Aku merasakan keduanya. Kesehatan ku perlahan
menurun. Aku tak pernah punya keberanian untuk bercerita dengan ibuku. Aku
berusaha menelan bulat-bulat rasa sakit ini. Tapi, naluri seorang ibu selalu
kuat. Disuatu malam sebelum tidur, pecahlah tangisanku yang selama ini ku
tahan.
“Kamu
kenapa? Udah seminggu Mamak liat kamu jarang makan? Ada masalah apa?” pertanyaan
itu terdengar lembut tetapi ampuh membuatku terduduk bersimpuh di sisi tempat
tidurnya.
“Aku
udah putus sama Aa, Mak.” Hanya itu yang mampu terucapkan, air mataku tak
berhenti mengalir. Aku terisak di sisinya.
Terdengar
berat helaan napasnya. “Kenapa? Bukannya belum lama dia datang ke rumah kita?
Apa dia ada wanita lain?” dia bergeser memperbaiki posisi berbaringnya,
menatapku lembut.
Aku
terdiam, memikirkan kalimat yang cocok untuk menjawabnya. “Dia udah ngelamar
wanita lain, Mak.” Aku semakin terisak.
Helaan
panjang kembali terdengar, tangan yang
mulai keriput dimakan usia membelai lembut rambutku,” ya udah, berarti dia
bukan jodoh kamu. Dia bukan yang terbaik buat kamu. Berarti dia bukan laki-laki
yang baik, buktinya dia berani lamar wanita lain padahal urusan kalian belum
selesai.”
Air
mata ku semakin deras mengalir,” hati aku sakit sekali, Mak. Padahal kurang apa
aku selama ini?” aku masih terus berusaha membela diri.
“Kamu
tau, Nak? Kamu terlihat bodoh sekali kali ini. Kamu seperti bukan anak Mamak
yang selama ini Mamak kenal. Syla yang Mamak kenal, dia akan bangkit meski
hatinya teriris.”
Aku
mengangkat wajah dan menatap wajahnya penuh pertanyaan. Sejak kecil, tak pernah
sekalipun mamak menyebut anaknya bodoh.
“Tapi
ini beda, Maak.” Aku masih terus berusaha mebenarkan apa yang ada dalam otakku.
“Kamu
tau? Mungkin ini cara Allah menegurmu. Ini cara Allah menunjukkan, bahwa Dia
cemburu. Cemburu karena kamu terlalu mencintai makhluk-Nya. Bukankah kamu tau
bahwa Allah itu Pencemburu? Bahkan cinta orang tua kepada anaknya pun tak boleh
melebihi cinta kepada-Nya. Tidak perlu kamu tangisi, Nak. Tidak perlu disesali.
Sekarang coba kamu ingat lagi, sudah berapa lama kamu tidak bermanja
dengan-Nya? Sudah berapa jauh kamu pergi meninggalkan-Nya? Mendekatlah, Nak.
Mendekatlah kepada-Nya. Mengadulah, sampaikan semua rasa sakit yang
menggerogoti hatimu. Perbanyak taubatmu, perbanyak shalatmu. Jangan pernah lagi
tinggalkan yang 5 waktu. Insya Allah, kamu akan baik-baik saja. Bangkitlah,
Sayang, Mamak tau hatimu sangat kuat.” Kecupan lembut mendarat di ubun-ubunku.
Ku peluk erat wanita yang sangat bijaksana, wanita yang cintanya seluas
samudera. Biarlah kami menangis bersama malam ini, agar esok bisa ceria seperti
biasa.
Jika
kita mau berbagi kebahagiaan dengan orang-orang terdekat, maka kebahagiaan itu
akan semakin bertambah. Tapi jika kita berbagi kesedihan dengan orang-orang
terdekat, maka kesedihan itu semakin berkurang. Yang ada hanya kekuatan tuk
bangkit jadi lebih baik. Terimakasih keluarga tercinta, sahabat-sahabat
terhebat semoga kita tetap jadi wanita yang tangguh. Terimakasih juga untukmu,
yang sudah memberi rasa sakit dan kecewa. Sakit ini akan membuat aku sadar
bahwa aku bisa jadi pribadi yang baru.
****
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Rad: 11)
Sejak obrolan malam itu, aku mulai
memperbaiki diri. Mulai memperbaiki segala hal yang aku anggap salah.
Memperbaiki hubungan dengan keluarga, dengan para sahabat, terutama hubunganku
dengan Pemilik Hati. Aku perbanyak teman dan sahabat-sahabat yang bisa
mengingatkan jika aku mulai lalai. Aku bersyukur dikelilingi oleh orang-orang
yang sangat luar biasa, orang-orang yang ketika melihatnya aku ingat Allah. Aku
benar-benar ingin menjadi pribadi yang baru, pribadi yang berbeda dengan diriku
di masa lalu.
Semua terasa sangat berat dan
menyakitkan pada awalnya, tapi ketika kuikuti semua nasihat Mamak, perlahan
tapi pasti luka di hatiku mengering. Aku perbanyak waktu bermanja dengan Sang
Khaliq. Air mata habis terkuras ketika aku bersujud, tak pernah terbendung isak
dan tangis saat ku mengadu. Tapi itulah yang menjadi sumber kekuatanku. Hatiku
kuat.
Sebagian teman ada yang mengatakan
padaku, “katanya sih kalo orang patah
hati bakal lama move on-nya. Berapa
lama kamu bareng dia, selama itu juga kamu baru bisa move on.” Tapi perkataan itu salah, aku hanya
butuh waktu satu bulan untuk kembali tersenyum ceria seperti dulu. Bahkan aku
merasa kondisi fisik dan psikis aku semakin membaik.
Sesakit apapun hati ini, aku selalu
berusaha berpikir positif. Aku percaya, ini cara Sang Pemilik Hati membalikkan
hatiku yang pernah berbalik arah. Allah menegurku melalui kejadian ini.
Pernikahan yang aku harapkan bersama dia melalui jalan yang salah. Jalan yang
melanggar aturan-Nya. Aku telat menyadari semua ini. Tapi tidak mengapa. Allah
selalu membuka jalan untuk hamba yang senantiasa merindukan jalan pulang.
Saat ini, duniaku terasa semakin
berwarna. Aku bisa bernapas lega bisa melepaskan hal-hal yang tidak sepatutnya
aku miliki. Langkah kakiku terasa jauh lebih ringan. Aku semakin punya banyak
waktu untuk diriku sendiri, untuk keluarga, juga untuk sahabat-sahabat yang
selalu mendukungku. Apakah perjalanan kisahku hanya sampai di sini? Tentu
tidak. Justru kejadian itu menjadi awal langkah kakiku menuju jalan yang baru,
jalan yang selalu aku harapkan penuh Ridha-Nya. Jalan yang akan mengantarkanku
mengenal aarti cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tak pernah pudar. Ketika aku berharap pada manusia aku mendapatkan
kekecewaan, ketika aku berharap pada Allah aku mendapat kebahagiaan.
Hujan disenja kali ini biarlah menutup segala lembaran kisah
sedih yang pernah aku alami. Biarkan hujan ini yang akan menghapus semua
jejak-jejak rindu yang salah. Hujan kali ini pun membawa cerita baru, cerita
tentang hijrahku di jalan-Nya. Perpisahan ini memang menyakitkan. Banyak pihak
yang tersakiti, terlebih aku dan keluargaku. Tetapi tak mengapa. Setiap
kejadian selalu ada hikmahnya. Perpisahan ini bukanlah hal yang buruk, justru
inilah perpisahan termanis yang pernah aku alami. Perpisahan yang
mengantarkanku pada pertemuan-pertemuan yang indah, pertemuan penih cinta di
jalan-Nya.
Jika
kau terlalu mencintai sesuatu melebihi cintamu pada-Nya, maka tunggu saja
sampai Dia mengambil apa-apa yang sangat kau cintai.
Selesai.
Tulisan
ini pernah diikutsertakan dalam sayembara menulis Berbagi Semangat yang
diselenggarakan oleh penerbit Wahyu Qolbu.